Selasa, 09 Juni 2020

ANTIHISTAMIN H-1 dan H-2

MAKALAH FARMAKOLOGI DASAR
ANTIHISTAMIN H-1 dan H-2


Disusun Oleh :
Kelompok 11 :
Dhina Isro Insani                                 (180105021)

Gunawan Laturama                            (180105036)

Linda Nur Azizah                                (180105059)

Rizka Fitria Ningsih                             (180105088)

Tasya Yusti Hanan Permata               (180105097)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA PURWOKERTO
TAHUN 2018 / 2019

            
BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang
Alergi merupakan suatu reaksi abnormal yang terjadi di tubuh akibat masuknya suatu zat asing. Zat asing yang dinamakan alergen tersebut masuk ke dalam tubuh melalui saluran nafas (inhalan) seperti debu, tungau, serbuk bunga dan dbu. Alergen juga dapat masuk melalui saluran pencernaan (ingestan) seperti susu, telur, kacang-kacangan dan seafood, disamping itu juga dikenal alergen kontaktan yang menempel pada kulit seperti kosmetik dan perhiasan. Saat alergen masuk ke dalam tubuh, sistem imunitas atau kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan dengan membuat antibodi yang disebut imunoglobulin E. Imunoglobulin E tersebut kemudian menempel pada sel mast.
Histamin adalah senyawa yang terlibat dalam respon imunitas lokal, selain itu senyawa ini juga berperan sebagai neurotransmitter di susunan saraf pusat dan mengatur fungsi fisiologis di lambung. Sebenarnya histamin sendiri terdapat di hampir semua jaringan tubuh manusia dalam jumlah kecil. Konsentrasi terbesar terdapat di kulit, paru-paru dan mukosa gastrointestinal. Histamin dibentuk oleh histidin dengan bantuan enzim histidine decarboxylase (HDC). Selanjutnya histamin yang terbentuk akan diinaktivasi dan disimpan dalam granu mast cell dn basofil (sel darah putih).
Sesungguhnya pemakaian obat antihistamin hanya menghilangkan gejalan alergu dan menghindari serangan yang lebih besar dimasa mendatang, tidak menyembuhkan alergi. Jika penderita kontak lagi dengan alergen, maka alergi akan muncul kembali. Oleh karena itu, yang terbaik untuk mengatasi alergi adalah dengan menghindari kontak dengan alergen, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, meningkatkan sistem kekebalan tubuh serta menjauhi stress.
Efek samping dari antihistamin secara umum adalah mengantuk, mulut kering, gangguan saluran cerna, gangguan urin dan terkadang iritasi. Banyak sekali obat yang dapat menyebabkan efek mengantuk karena obat tersebut menekan susunan saraf pusat. Maka sering kita melihat pada kemasan obat bahwa kita dilarang mengendalikan kendaraan setelah minum obat tersebut.

B. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Pengertian dari Antihistamin
2.      Bagaimana Penggolongan dari Antihistamin H-1 dan H-2
3.      Bagaimana Farmakologi Obat Antihistamin H-1 dan H-2
      C. Tujuan
1.      Dapat Memahami Pengertian dari Antihistamin
2.      Dapat Memahami Penggolongan dari Antihistamin H-1 dan H-2
3.      Dapat Memahami Farmakologi Obat Antihistamin H-1 dan H-2

BAB II
PEMBAHASAN

      A. Pengertian Antihistamin
Antihistamin adalah obat yang bekerja sebagai antagonis reseptor histamine yang ada, seperti reseptor histamin H1, H2, H3 dan H4. Antagonis Reseptor H1(AH1) menghambat efek histamin di pembuluh darah, bronkus dan otot polos, selain itu AH1 juga dapat mengobati reaksi hipersensitivitas (Gan, 2007).
Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblokir reseptor histamin. Histamin merupakan derivat amin dengan berat molekul rendah yang diproduksi dari L-histidine. Ada empat jenis reseptor histamin, namun yang dikenal secara luas hanya reseptor histamin H1 dan H2. Reseptor H1 ditemukan pada neuron, otot polos, epitel dan endotelium. Reseptor H2 ditemukan pada sel parietal mukosa lambung, otot polos, epitelium, endotelium, dan jantung (Greaves M,2005)
     B. Penggolongan Antihistamin
a.       Anti histamine H1-blockers (antihistaminika klasik)
Mengantagonis histamine dengan jalan memblock reseptor H-1 di otot licin dari dinding pembuluh, bronchi dan saluran cerna, kantung kemih dan Rahim. Begitupula melawan efek histamine di kapiler dan ujung syaraf (gatal, flare reaction). Efeknya adalah simtomatis, antihistamin tidak dapat menghindarkan timbulnya reaksi alergi. Antihistamin dibagi secara kimiawi dalam 7-8 kelemopok, kini digunakan penggolongan dalam dua kelompok atas dasar kerjanya terhadap SSP, yakni zat-zat generasi ke-1 dan ke-2.
1.      Obat generasi ke-1
Pada generasi ke-1 obat ini bekerja jauh lebih aditif dari pada generasi ke-2. Generasi ke-1 bekerja dengan melewati sistem saraf pusat dan menutup reseptor histamine cholinergic, a-Adrenergic, dan saratonin. Saat obat antihitamin  bekerja untuk menutup cholinergic akan timbul efek mulut terlihat kering. Jenis obat yang mempengaruhi cholinergic contohnya brompheniramine,chlorpheniramine, dan clemastine. Saat obat antihistamin bekerja dengan menutup kanal a-Adrenergic akan mengakibatkan hipotensi dan reflek takikardia. Jenis obat yang menutup a-Adrenergic contohnya cyproheptadine, diphenhydramine dan doxylamine. diphenhydramine dan doxylamine sendiri sering dimanfaatkan untuk mengobati insomnia. Selanjutnya antihistamin yang bekerja dengan cara menghambat kanal saratonin dapat menyebabkan peningkatan napsu makan dan beberapa obatnya dimanfaatkan untuk penggunaan antiemetika contoh obatnya adalah meclizine dan promethazine.
2.      Obat generasi ke-2
Pada generasi ke-2 memiliki struktur lipofilik yang lebih besar dan lebih sedikit  melewati penghalang darah pada otak sehingga efeknya jauh lebih ringan disbanding generasi-1 contoh obat generasi ini adalah cetirizine, desloratadine, fexoferadine dan lain lain.
b.      H2-blockers (penghambat asma)
Obat-obat ini menghambat secara efektif sekresi asam lambung yang meningkat akibat histamine, dengan jalan persaingan terhadap reseptor H-2 di lambung. Efeknya adalah berkurangnya hipersekrasi asam klorida, juga mengurangi vasodilatasi dan tekanan darah menurun. Senyawa ini banyak digunakan pada terapi tukak lambung usus guna mengurangi sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai zat pelindung tambahan pada terapi dengan kortikosteroida. Penghambat asam yang banyak digunakan adalah semitidin, ranitidine, famotidine, nizatidin, dan raksatidin yang merupakan senyawa-senyawa heterosiklik dari histamine. Menurut struktur kimianya, antihistamin dibagi dalam beberapa kelompok, antara lain :

1.    Turunan etanolamin (X=O)
Obat golongan ini memiliki daya kerja seperti atropine (antikolinergik) dan bekerja terhadap SSP (sedative). Antihistamin golongan ini antara lain difenhidramin, dimenhidrinat, klorfenoksamin, karbinoksamin, dan feniltoloksamin.
2.      Turunan etilendiamin (X=N)
Obat golongan ini umumnya memiliki daya sedative lemah. Antihistamin golongan ini antara lain antazolin, tripenelamin, klemizol, dan mepirin.
3.      Turunan propilamin (X=C)
Obat golongan ini memiliki daya antihistamin yang kuat. Antihistamin golongan ini antara lain feniramin, khlorpheniramin, brompheniramin, dan tripolidin.
4.      Turunan piperazin.
Obat golongan ini umumnya memiliki efek long acting. Antihistamin golongan ini antaralain siklizin, meklozin, homoklorsiklizin, sinarizin, dan flunarizin.
5.    Turunan fenotizin
Obat golongan ini memiliki efek antihistamin dan antikolinergik yang tidak begitu kuat, tetapi memiliki daya neuroleptic kuat sehingga digunakan pada keadaan psikosis. Selain itu juga memiliki efek meredakan batuk, maka sering dipakai untuk kombinasi obat batuk. Antihistamin golongan ini antara lain prometazin, tiazinamidum, oksomemazin, dan metdilazi (Ganiswara, 2005).

         C. Farmakologi Obat Antihistamin H-1 dan H-2
1. ANTI HISTAMIN H-1
a. CTM
Mekanisme kerja
Menghambat efek histamin pada pembuluh darah,bronkus dan bermacam-macam otot polos.selain itu  AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas  atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endog en berlebihan.
Farmakokinetik
Setelah pemberian obat atau parenteral,AH 1 diabsorbsi secara baik. Efeknya timbul 15-30 menit dan minimal 1-2 jam. Lama kerja AH1 setelah pemberian dosis tunggal kira kira 4-6 jam.  Untuk golongan klorsiklisir 8-12 jam,CTM yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah setelah kira kira 2 jam berikunya. Kadar tinggi terdapat pada paru paru. Tempat biotransformasi AH1 adalah hati,tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal. AH1 diekskresikan melalui urin setelah 24 jam,terutama dalam bentuk metabolitnya.
Farmakodinamika
Yang memblok reseptor AH1, dengan efek terhadap penciutan bronci,usus dan rahim,terhadap ujung syaraf (vasodilatasi,naiknya permeabilitas). CTM  CYTOCHROME P450 ISOENZYME CYP2D6 yang bertanggung jawab untuk metabolisme  beberapa blockers termasuk metoprolol dan anti depresant venkla faxine .
Efek  toksik
Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini sering  terdapat sebagai obat persediaan rumah tangga pada anak,keracunan terjadi karena kecelakaan,sedangkan pada orang dewasa akibat bunuh diri. Dosis 20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak.
Efek sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya pada anak kecil efek yang dominan ialah  perangsangan dengan manivestasi halunasi, eksitas,ataksia,inkoordinasi,atetosis,dan kejang .kejang ini kadang-kadang disertai tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar dikontrol. Gejala lain mirip gejala keracunan atropin misalnya midriasis,kemerahan dimuka dan sering timbul demam. Akirnya terjadi koma dalam dengan kolaps kardiorespiratoar yang disusul kematian dalam 2 -18 jam. Pada orang dewasa, manivestasi keracunan biasanya berupa depresi pada pemulaan,kemudia eksitasi dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut.
2. ANTIHISTAMIN H2
a. SIMETIDIN DAN RANITIDIN
FARMAKODINAMIK :
Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible.
Perangsangan H2 akan merangsang sekresi cairan lambung sehingga pada pemberian simetidin dan ranitidin sekresi cairan lambung dihambat pengaruh fisiologi simetidin dan ranitidin terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting. Simetidin dan ranitidin dapat menghambat sekresi cairan lambung akibat perangsangan obat muskarinik atau gastrin. Semitidin dan ranitidin mengurangi volume dan kadar ion hidrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi pepsin juga menurun (Katzung,2007).
FARMOKINETIK :
Biovailabilitas oral semitidin sekitar 70%. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode pasca makan. Absorpsi simetidin terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk ke dalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20 % dari kadar serum. Sekitar 50-80 % dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin di ekskresi dalam bentuk asal dalam urine. Masa paru eliminasi sekitar 2 jam (Katzung,2007).
Biovailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati . masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa dan memanjang pada orangtua dan pada pasien ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal . Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin secara oral dan yang terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidin dan metabolitnya di ekskresi terutama melalui ginjal sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral di ekskresi dalam urin dalam bentuk asal (Ktzung,2007).
EFEK SAMPING :
Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2 . Beberapa efek samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain: nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten (Katzung,2007).
Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual dan ginekomastia. Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian terapi dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan impotensi dan ginekomastia akibat simetidin. Simetidin IV akan meramgsang sekresi prolaktin. Pengaruh ranitidin terhadap peninggian prolaktin ini kecil (Katzung,2007).
b.FAMOTIDIN
Farmakodinamik
Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidine tiga kali lebih poten dari pada ranitidine dan 20 kali lebih poten daripada simetidin (Katzung,2007).
Indikasi
Efektivitas obat ini untuk tukak duodenum dan  tukak lambung setelah 8 minggu pengobatan sebanding dengan ranitidine dan simetidin. Pada penelitioan selama 6 bulan famotidine juga mengurangi kekambuhan tukak duodenum yang secara klinis bermakna. Famotidin kira-kira sama efektif dengan AH2 lainnya pada pasien sindrom Zollinger-Ellison meskipun untuk keadaan ini omeprazole merupakan obat terpilih. Efektivitas famotidine untuk profilaksis tukak lambung , refluks esophagitis dan pencegahan tukak stress pada saat ini sedang diteliti (Katzung,2007).
Efek Samping
 Efek samping biasanya ringan dan jarng terjadi misalnya sakit kepala, pusing, konstipasi, dan diare. Seperti halnya dengan ranitidin, famotidin nampaknya lebih  baik daripada simetidin karena belum pernah dilaporkan terjadinya efek antiandrogenik. Famotidin harus digunakan hati-hati pada ibu menyusui karena obat ini belum diketahui apakah obat ini diekskresi kedalam air susu ibu.
Interaksi Obat
Sampai saat ini interaksi yang bermakna dengan obat lain belum belum dilaporkan meskipun baru diteliti terhadap sejumlah kecil obat. Famotidin tidak mengganggu oksidasi diazepam feofilin, warfarin atau fenitoin di hati. Ketokonazol membutuhkan pH asam untuk bekerja sehingga kurang efektif bial diberikan  bersama AH2.
Farmakokinetik
 Famotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2jam setelah  penggunaan secara oral. masa paruh eliminasi 3-8jam dan biovaibilitas 40-50%, Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa  paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Antihistamin merupakan antagonis histamine yang menyebabkan perubahan kerja pada enzime histamine dimana antihistamin ini sendiri menutup reseptor histamine sehingga kinerja histamine terhenti. Antihistamin dibedakan berdasarkan reseptor yang dipengaruhinya yaitu ada H1,H2.H3. dan H4.
B.     Saran
Mengingat makalah ini masih jauh dari kata sempurna,penulis mengharapkan adanya kritik serta saran  dari pembaca untuk menjadikan makalah dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah  pengetahuan bagi yang membaca.



DAFTAR PUSTAKA

Greaves, M. (2005). In utero origins of childhood leukaemia. Early Human Developmen 81, 123-129.
Katzung B. G. 2007. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. Boston: McGraw Hill.
Setiawati, A., 2005, Interaksi Obat dalam Ganiswara, S.G., Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, 800-810, Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta
Wilmana, P.F., dan Gan, S.G., 2007. Analgesik-Antipiretik Analgesik AntiInflamasi Nonsteroid dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Dalam: Gan, S.G., Editor. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru, 230- 240.