MAKALAH
FARMAKOLOGI DASAR
ANTIHISTAMIN
H-1 dan H-2
Disusun
Oleh :
Kelompok
11 :
Dhina Isro Insani (180105021)
Gunawan Laturama (180105036)
Linda Nur Azizah (180105059)
Rizka Fitria Ningsih (180105088)
Tasya Yusti Hanan Permata (180105097)
PROGRAM
STUDI S1 FARMASI
UNIVERSITAS
HARAPAN BANGSA PURWOKERTO
TAHUN 2018 / 2019
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alergi merupakan suatu reaksi abnormal yang terjadi di
tubuh akibat masuknya suatu zat asing. Zat asing yang dinamakan alergen
tersebut masuk ke dalam tubuh melalui saluran nafas (inhalan) seperti debu,
tungau, serbuk bunga dan dbu. Alergen juga dapat masuk melalui saluran
pencernaan (ingestan) seperti susu, telur, kacang-kacangan dan seafood, disamping
itu juga dikenal alergen kontaktan yang menempel pada kulit seperti kosmetik
dan perhiasan. Saat alergen masuk ke dalam tubuh, sistem imunitas atau
kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan dengan membuat antibodi yang disebut
imunoglobulin E. Imunoglobulin E tersebut kemudian menempel pada sel mast.
Histamin adalah senyawa yang terlibat dalam respon
imunitas lokal, selain itu senyawa ini juga berperan sebagai neurotransmitter
di susunan saraf pusat dan mengatur fungsi fisiologis di lambung. Sebenarnya
histamin sendiri terdapat di hampir semua jaringan tubuh manusia dalam jumlah
kecil. Konsentrasi terbesar terdapat di kulit, paru-paru dan mukosa
gastrointestinal. Histamin dibentuk oleh histidin dengan bantuan enzim
histidine decarboxylase (HDC). Selanjutnya histamin yang terbentuk akan
diinaktivasi dan disimpan dalam granu mast cell dn basofil (sel darah putih).
Sesungguhnya pemakaian obat antihistamin hanya
menghilangkan gejalan alergu dan menghindari serangan yang lebih besar dimasa
mendatang, tidak menyembuhkan alergi. Jika penderita kontak lagi dengan
alergen, maka alergi akan muncul kembali. Oleh karena itu, yang terbaik untuk
mengatasi alergi adalah dengan menghindari kontak dengan alergen, menjaga
kebersihan diri dan lingkungan, meningkatkan sistem kekebalan tubuh serta
menjauhi stress.
Efek samping dari antihistamin secara umum adalah
mengantuk, mulut kering, gangguan saluran cerna, gangguan urin dan terkadang
iritasi. Banyak sekali obat yang dapat menyebabkan efek mengantuk karena obat
tersebut menekan susunan saraf pusat. Maka sering kita melihat pada kemasan
obat bahwa kita dilarang mengendalikan kendaraan setelah minum obat tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian dari Antihistamin
2. Bagaimana Penggolongan dari Antihistamin H-1 dan H-2
3. Bagaimana Farmakologi Obat Antihistamin H-1 dan H-2
C. Tujuan
1. Dapat Memahami Pengertian dari Antihistamin
2. Dapat Memahami Penggolongan dari Antihistamin H-1 dan H-2
3. Dapat Memahami Farmakologi Obat Antihistamin H-1 dan H-2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Antihistamin
Antihistamin adalah obat yang bekerja sebagai
antagonis reseptor histamine yang ada, seperti reseptor histamin H1, H2, H3 dan
H4. Antagonis Reseptor H1(AH1) menghambat efek histamin di pembuluh darah,
bronkus dan otot polos, selain itu AH1 juga dapat mengobati reaksi
hipersensitivitas (Gan, 2007).
Antihistamin
(antagonis histamin) adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek
histamin terhadap tubuh dengan jalan memblokir reseptor histamin. Histamin
merupakan derivat amin dengan berat molekul rendah yang diproduksi dari L-histidine.
Ada empat jenis reseptor histamin, namun yang dikenal secara luas hanya
reseptor histamin H1 dan H2. Reseptor H1 ditemukan pada neuron, otot polos,
epitel dan endotelium. Reseptor H2 ditemukan pada sel parietal mukosa lambung,
otot polos, epitelium, endotelium, dan jantung (Greaves M,2005)
B. Penggolongan
Antihistamin
a. Anti
histamine H1-blockers (antihistaminika klasik)
Mengantagonis histamine dengan
jalan memblock reseptor H-1 di otot licin dari dinding pembuluh, bronchi dan
saluran cerna, kantung kemih dan Rahim. Begitupula melawan efek histamine di
kapiler dan ujung syaraf (gatal, flare reaction). Efeknya adalah simtomatis,
antihistamin tidak dapat menghindarkan timbulnya reaksi alergi. Antihistamin
dibagi secara kimiawi dalam 7-8 kelemopok, kini digunakan penggolongan dalam
dua kelompok atas dasar kerjanya terhadap SSP, yakni zat-zat generasi ke-1 dan
ke-2.
1. Obat
generasi ke-1
Pada generasi ke-1 obat
ini bekerja jauh lebih aditif dari pada generasi ke-2. Generasi ke-1 bekerja
dengan melewati sistem saraf pusat dan menutup reseptor histamine cholinergic,
a-Adrenergic, dan saratonin. Saat obat antihitamin bekerja untuk menutup cholinergic akan timbul
efek mulut terlihat kering. Jenis obat yang mempengaruhi cholinergic contohnya
brompheniramine,chlorpheniramine, dan clemastine. Saat obat antihistamin
bekerja dengan menutup kanal a-Adrenergic akan mengakibatkan hipotensi dan
reflek takikardia. Jenis obat yang menutup a-Adrenergic contohnya
cyproheptadine, diphenhydramine dan doxylamine. diphenhydramine dan doxylamine
sendiri sering dimanfaatkan untuk mengobati insomnia. Selanjutnya antihistamin
yang bekerja dengan cara menghambat kanal saratonin dapat menyebabkan
peningkatan napsu makan dan beberapa obatnya dimanfaatkan untuk penggunaan
antiemetika contoh obatnya adalah meclizine dan promethazine.
2. Obat
generasi ke-2
Pada generasi ke-2
memiliki struktur lipofilik yang lebih besar dan lebih sedikit melewati penghalang darah pada otak sehingga
efeknya jauh lebih ringan disbanding generasi-1 contoh obat generasi ini adalah
cetirizine, desloratadine, fexoferadine dan lain lain.
b. H2-blockers
(penghambat asma)
Obat-obat
ini menghambat secara efektif sekresi asam lambung yang meningkat akibat
histamine, dengan jalan persaingan terhadap reseptor H-2 di lambung. Efeknya
adalah berkurangnya hipersekrasi asam klorida, juga mengurangi vasodilatasi dan
tekanan darah menurun. Senyawa ini banyak digunakan pada terapi tukak lambung
usus guna mengurangi sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai zat pelindung
tambahan pada terapi dengan kortikosteroida. Penghambat asam yang banyak
digunakan adalah semitidin, ranitidine, famotidine, nizatidin, dan raksatidin yang
merupakan senyawa-senyawa heterosiklik dari histamine. Menurut struktur
kimianya, antihistamin dibagi dalam beberapa kelompok, antara lain :
1. Turunan
etanolamin (X=O)
Obat golongan ini
memiliki daya kerja seperti atropine (antikolinergik) dan bekerja terhadap SSP
(sedative). Antihistamin golongan ini antara lain difenhidramin, dimenhidrinat,
klorfenoksamin, karbinoksamin, dan feniltoloksamin.
2. Turunan
etilendiamin (X=N)
Obat golongan ini
umumnya memiliki daya sedative lemah. Antihistamin golongan ini antara lain
antazolin, tripenelamin, klemizol, dan mepirin.
3. Turunan
propilamin (X=C)
Obat golongan ini
memiliki daya antihistamin yang kuat. Antihistamin golongan ini antara lain
feniramin, khlorpheniramin, brompheniramin, dan tripolidin.
4. Turunan
piperazin.
Obat golongan ini
umumnya memiliki efek long acting. Antihistamin golongan ini antaralain
siklizin, meklozin, homoklorsiklizin, sinarizin, dan flunarizin.
5. Turunan
fenotizin
Obat golongan ini
memiliki efek antihistamin dan antikolinergik yang tidak begitu kuat, tetapi
memiliki daya neuroleptic kuat sehingga digunakan pada keadaan psikosis. Selain
itu juga memiliki efek meredakan batuk, maka sering dipakai untuk kombinasi obat
batuk. Antihistamin golongan ini antara lain prometazin, tiazinamidum,
oksomemazin, dan metdilazi (Ganiswara, 2005).
C. Farmakologi
Obat Antihistamin H-1 dan H-2
1.
ANTI HISTAMIN H-1
a. CTM
Mekanisme kerja
Menghambat
efek histamin pada pembuluh darah,bronkus dan bermacam-macam otot polos.selain
itu AH1 bermanfaat untuk mengobati
reaksi hipersensitivitas atau keadaan
lain yang disertai pelepasan histamin endog en berlebihan.
Farmakokinetik
Setelah
pemberian obat atau parenteral,AH 1 diabsorbsi secara baik. Efeknya timbul
15-30 menit dan minimal 1-2 jam. Lama kerja AH1 setelah pemberian dosis tunggal
kira kira 4-6 jam. Untuk golongan
klorsiklisir 8-12 jam,CTM yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal
dalam darah setelah kira kira 2 jam berikunya. Kadar tinggi terdapat pada paru
paru. Tempat biotransformasi AH1 adalah hati,tetapi dapat juga pada paru-paru
dan ginjal. AH1 diekskresikan melalui urin setelah 24 jam,terutama dalam bentuk
metabolitnya.
Farmakodinamika
Yang
memblok reseptor AH1, dengan efek terhadap penciutan bronci,usus dan
rahim,terhadap ujung syaraf (vasodilatasi,naiknya permeabilitas). CTM CYTOCHROME P450 ISOENZYME CYP2D6 yang
bertanggung jawab untuk metabolisme
beberapa blockers termasuk metoprolol dan anti depresant venkla faxine .
Efek toksik
Keracunan
akut AH1 terjadi karena obat golongan ini sering terdapat sebagai obat persediaan rumah tangga
pada anak,keracunan terjadi karena kecelakaan,sedangkan pada orang dewasa
akibat bunuh diri. Dosis 20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak.
Efek
sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya pada anak kecil efek yang dominan
ialah perangsangan dengan manivestasi
halunasi, eksitas,ataksia,inkoordinasi,atetosis,dan kejang .kejang ini
kadang-kadang disertai tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik
yang sukar dikontrol. Gejala lain mirip gejala keracunan atropin misalnya
midriasis,kemerahan dimuka dan sering timbul demam. Akirnya terjadi koma dalam
dengan kolaps kardiorespiratoar yang disusul kematian dalam 2 -18 jam. Pada
orang dewasa, manivestasi keracunan biasanya berupa depresi pada
pemulaan,kemudia eksitasi dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut.
2. ANTIHISTAMIN
H2
a. SIMETIDIN DAN
RANITIDIN
FARMAKODINAMIK :
Simetidin
dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible.
Perangsangan
H2 akan merangsang sekresi cairan lambung sehingga pada pemberian simetidin dan
ranitidin sekresi cairan lambung dihambat pengaruh fisiologi simetidin dan
ranitidin terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting. Simetidin dan
ranitidin dapat menghambat sekresi cairan lambung akibat perangsangan obat
muskarinik atau gastrin. Semitidin dan ranitidin mengurangi volume dan kadar
ion hidrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan
perubahan pepsinogen menjadi pepsin juga menurun (Katzung,2007).
FARMOKINETIK :
Biovailabilitas oral semitidin sekitar 70%.
Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi simetidin diberikan bersama atau
segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode pasca
makan. Absorpsi simetidin terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk
ke dalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20 % dari kadar serum. Sekitar
50-80 % dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin di ekskresi dalam
bentuk asal dalam urine. Masa paru eliminasi sekitar 2 jam (Katzung,2007).
Biovailabilitas ranitidin yang diberikan secara
oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati . masa paruhnya
kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa dan memanjang pada orangtua dan pada
pasien ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang
meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal . Kadar puncak plasma dicapai dalam
1-3jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin secara oral dan yang terikat protein
plasma hanya 15%. Ranitidin dan metabolitnya di ekskresi terutama melalui
ginjal sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan IV dan
30% dari yang diberikan secara oral di ekskresi dalam urin dalam bentuk asal (Ktzung,2007).
EFEK SAMPING :
Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan
umumnya berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2 . Beberapa efek
samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini
antara lain: nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi,
ruam kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten (Katzung,2007).
Simetidin mengikat reseptor androgen dengan
akibat disfungsi seksual dan ginekomastia. Ranitidin tidak berefek
antiandrogenik sehingga penggantian terapi dengan ranitidin mungkin akan
menghilangkan impotensi dan ginekomastia akibat simetidin. Simetidin IV akan
meramgsang sekresi prolaktin. Pengaruh ranitidin terhadap peninggian prolaktin
ini kecil (Katzung,2007).
b.FAMOTIDIN
Farmakodinamik
Famotidin
merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan
basal, malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidine tiga kali
lebih poten dari pada ranitidine dan 20 kali lebih poten daripada simetidin
(Katzung,2007).
Indikasi
Efektivitas obat
ini untuk tukak duodenum dan tukak
lambung setelah 8 minggu pengobatan sebanding dengan ranitidine dan simetidin.
Pada penelitioan selama 6 bulan famotidine juga mengurangi kekambuhan tukak
duodenum yang secara klinis bermakna. Famotidin kira-kira sama efektif dengan
AH2 lainnya pada pasien sindrom Zollinger-Ellison meskipun untuk keadaan ini
omeprazole merupakan obat terpilih. Efektivitas famotidine untuk profilaksis
tukak lambung , refluks esophagitis dan pencegahan tukak stress pada saat ini
sedang diteliti (Katzung,2007).
Efek
Samping
Efek samping
biasanya ringan dan jarng terjadi misalnya sakit kepala, pusing, konstipasi,
dan diare. Seperti halnya dengan ranitidin, famotidin nampaknya lebih baik daripada simetidin karena belum pernah
dilaporkan terjadinya efek antiandrogenik. Famotidin harus digunakan hati-hati
pada ibu menyusui karena obat ini belum diketahui apakah obat ini diekskresi
kedalam air susu ibu.
Interaksi
Obat
Sampai saat ini interaksi yang bermakna dengan obat
lain belum belum dilaporkan meskipun baru diteliti terhadap sejumlah kecil
obat. Famotidin tidak mengganggu oksidasi diazepam feofilin, warfarin atau
fenitoin di hati. Ketokonazol membutuhkan pH asam untuk bekerja sehingga kurang
efektif bial diberikan bersama AH2.
Farmakokinetik
Famotidin
mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2jam setelah penggunaan secara oral. masa paruh eliminasi
3-8jam dan biovaibilitas 40-50%, Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida.
Setelah dosis oral tunggal sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal
di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa
paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Antihistamin
merupakan antagonis histamine yang menyebabkan perubahan kerja pada enzime
histamine dimana antihistamin ini sendiri menutup reseptor histamine sehingga
kinerja histamine terhenti. Antihistamin dibedakan berdasarkan reseptor yang
dipengaruhinya yaitu ada H1,H2.H3. dan H4.
B.
Saran
Mengingat
makalah ini masih jauh dari kata sempurna,penulis mengharapkan adanya kritik
serta saran dari pembaca untuk
menjadikan makalah dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah pengetahuan bagi yang membaca.
DAFTAR PUSTAKA
Greaves, M. (2005). In utero origins of
childhood leukaemia. Early Human Developmen 81, 123-129.
Katzung B. G. 2007. Basic and Clinical
Pharmacology. 10th ed. Boston: McGraw Hill.
Setiawati,
A., 2005, Interaksi Obat dalam Ganiswara, S.G., Farmakologi dan Terapi, Edisi
IV, 800-810, Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta
Wilmana,
P.F., dan Gan, S.G., 2007. Analgesik-Antipiretik Analgesik AntiInflamasi
Nonsteroid dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Dalam: Gan, S.G., Editor.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru, 230- 240.